KULTURISASI OPINI DUNIA dan TANTANGAN MEDIA GLOBAL
Sebuah argumen menarik dari Peter N. Stearns (2005) menyatakan bahwa kekuatan (kapasitas) dan kultur telah menjadi faktor pemicu utama dalam memobilisasi topik/persoalan masyarakat. Kalimat pembuka tersebut juga memperkuat premis mengenai opini publik yang telah mengglobal karena adanya transformasi peradaban dunia. Hal ini didasari oleh tiga alasan konseptual utama, yakni: ekspansi, inovasi, dan limit (batasan dan hambatan). Ekspansi yang dimaksud lebih menceritakan catatan kronologis kemunculan dan pengaruh era Westernisasi sejak tahun 1860-1930 terhadap peradaban Rusia, Amerika Latin, Jepang, Timur Tengah, dan Cina. Perluasan paradigma Barat ini lantas menimbulkan suatu inovasi kultur tersendiri dan mampu membentuk opini masyarakat secara global. Seiring dengan berkemabangnya teknologi informasi berupa media cetak, inovasi yang dihasilkan tetap mengalami hambatan serius. Akibatnya, pergerakan Barat mendapat limit yang bersinggungan dengan tradisi kuat sebuah negara bangsa.
Tulisan Peter N. Stearn lebih berfokus pada eksistensi opini dunia dan peran transformasi peradaban (perubahan kultural) terhadap pembentukan opini publik global. Secara komprehensif, Stearn menjelaskan bahwa ekspansi peradaban Barat dilatarbelakangi oleh peristiwa 80 tahun gerakan anti perbudakan abad 18 dan bencana yang terjadi pasca Perang Dunia II. Momen tersebut menjadi bukti nyata bahwa hakikat opini publik sudah lahir secara tradisional oleh karena banyaknya konflik kekerasan, penyelewengan sosial, serta gerakan khusus seperti Nazi dan Fasis yang didukung dengan semangat moral yang tinggi. Namun, semenjak Konvensi Jenewa terbentuk dadi tahun 1860, berdirinya Palang Merah Internasional, dan terselenggarakannya pemberian hadiah Nobel tahun 1901, opini public kian diapresiasi dan mengalami perkembangan pesat hingga membentuk opini dunia.
Peluang untuk mendapatkan informasi dan pengetahuan yang berkualitas kian terbuka lebar sejak imperialisme Barat berekspansi besar-besaran. Bahkan, teknologi media jurnalistik semakin mengundang intrik banyak pihak hingga mampu membongkar sisi lain peradaban. Spoof Mikado dari Jepang, pembunuhan bayi dan ketidakadilan hak wanita di India, prostitusi di Amerika Latin dan Jepang, patronisasi Rusia, absolutismesistem hukum Islam yang ‘menomorsatukan’ wanita di Timur Tengah, sampai isu pemasungan kaki wanita di Cina menjadi hasil inovatif nyata dari jerih payah Barat dalam menguak ekslusivitas peradaban luar serta mengajarkan asas kebebasan, misionari Kristiani, dan standard pembentukan opini global. Dengan kata lain, imperialisme Barat mengarah kepada modernitas, masyarakat modern, dan era reformasi.
Indikator sukses tidaknya opini dunia dari transformasi peradaban di atas ialah akses geografis dan tingkat perkembangan isu yang beredar. Pada akhir abad 19, opini dunia menjadi sangat krusial karena adanya tindakan lynching di Ameika Serikat. Aksi tersebut dipengaruhi oleh asas diskriminasi rasial dan konflik internal. Oleh karena itu, sejumlah tokoh anti-lynching membuat petisi internasional dan mengundang media massa sebagai wadah informatif protes mereka. Perubahan gradual terjadi dan berdampak pada kebijakan federal pemerintah hingga mencetus adanya tanggung jawab moral secara legal (dibentuk undang-undang mengenai hak asasi manusia). Solidaritas dan inklusivitas dari kekerasan menjadi standard utama dalam pembentukan opini dunia.
Walaupun opini dunia mampu menciptakan progresivitas gerakan universal/ tindakan kolektif, faktor transformasi perdaban ternyata punya hambatan. Menjadikan manusia yang bermartabat dan berargumen secara intelektual tidak semata terlepas dari persoalan nasional. National shame dan national disgrace menjadi hambatan utama ketika opini dunia mencuat dan tenggelam secara tiba-tiba. Perselisihan internal dan gejolak yang timbul akibat gesekan kultur merupakan ‘penyakit’ massa yang harus diperhatikan masyarakat global.